PELABUHAN DONGGALA TINGGAL KENANGAN
Kota Donggala dikenal sebagai kota tua yang kaya akan sejarah, tak heran
bila di kota ini tersisa banyak bangunan tua dan bersejarah, satu
diantaranya adalah pelabuhan donggala. Menelusuri sejarah pelabuhan
Donggala sungguh sangat sulit, selain ketersediaan dokumen yang ada,
jarang sekali ada tulisan mengenai Pelabuhan Donggala yang
dipublikasikan, tulisan ini hanya mengumpulkan serpihan-serpihan tulisan
yang terserak di dunia internet, semoga saja bisa menjadi informasi
yang bermanfaat.
Kota Donggala di awal abad 19 perupakan pusat
pemerintahan kolonial belanda, setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah
pada Tahun 1905, yang ditetapkan berdasarkan pembagian wilayah yang
dilakukan oleg Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia, dan oleh
pemerintah Kolonial belanda Pelabuhan ini dijadikan Belanda sebagai
pelabuhan niaga dan penumpang
Kejayaan pelabuhan donggala kala itu
tertulis jelas dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya
Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
kedua buku itu menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut
Nusantara dan Mancanegara.
Namun sejak pelabuhan Donggala
dipindahkan ke Pantoloan, kejayaan kota Donggala perlahan memudar, kota
yang dahulunya disebut-sebut sebagai kota pelajar, kota niaga
perlahan-lahan semakin hilang dari perbincangan dan peta politik
nasional bahkan lokal.
Pemindahan pelabuhan ke Pantoloan sangat
bernuansa politis saat itu, padahal rencana pemindahan ini telah pernah
dilakukan oleh pemerintah colonial belanda, kala itu Belanda memindahkan
pelabuhan Donggala ke Pantoloan. Tapi lalu mereka kembali lagi ke
Donggala. Pertimbangan kembalinya lagi ke Donggala adalah karena mereka
memergoki data-data gempa yang diteliti oleh Sarasin bersaudara pada
tahun 1901.
Memang cukup berat gempa di pantai selat Makassar, yang
terkeras pernah mencapai angka 7 pada Skala Richter yang berangka 8.
Dengan getaran setinggi angka 7 tersebut, ombak yang ditimbulkan gempa
dapat dengan mudah menggilas sekaligus menyapu perumahan di pantai.
Direktorat Geologi di Bandung dengan kerjasama USAID memperkuat hasil
penelitian Sarasin bersaudara dengan menunjukkan bahwa rata-rata
kedalaman pusat gempa di Selat Makassar adalah antara 36--75 km.
(majalah tempo 40/V 06 Desember 1975).
Kini pengelolaan pelabuhan
Donggala menjadi tanggung jawab PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero),
yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan 18 Kantor Cabang, 2 UPK dan 5
Kawasan yang tersebar di 10 (sepuluh) propinsi yaitu Propinsi
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya
Barat.
Saat ini status Pelabuhan Donggala berada pada kasta terendah
pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo. Klasifikasi pelabuhan dalam
wilayah Pelabuhan Indonesia IV dibedakan menurut : a. Pelabuhan Utama,
yaitu Pelabuhan Makassar ; b. Pelabuhan Kelas I (satu), yaitu Pelabuhan
Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon dan Sorong ; c. Pelabuhan Kelas
II (dua), yaitu Jayapura, Tarakan, pantoloan, Ternate dan Kendari ; d.
Pelabuhan Kelas III (tiga), yaitu Pelabuhan Nunukan, Parepare, Biak,
Merauke dan Manokwari ; e. Pelabuhan Kelas IV (empat), yaitu Pelabuhan
Fakfak dan Gorontalo ; f. Unit Pelayanan Kepelabuhanan, yaitu UPK
Sangatta dan UPK Bontang ; g. Pelabuhan Kawasan, yaitu Pelabuhan
Paotere, Manado, Tolitoli, Donggala dan Bandanaira.
Selama ini
sejumlah tokoh pemerintah dan tokoh masyarakat menyuarakan pentingnya
pengambila alihan pengelolaan pelabuhan Donggala oleh Pemda. Padahal
Pemerintah kabupaten/kota tidak berhak mengambil alih pengelolaan
pelabuhan umum nasional dan internasional yang selama ini dikelola oleh
PT Pelabuhan Indonesia, selama Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001
tentang pelaksanaan teknis kepelabuhanan-sebagai dasar hukum dalam
pengelolaan teknis pelabuhan-belum diubah atau dicabut, pengelolaan
pelabuhan di seluruh Indonesia tetap dilaksanakan PT Pelabuhan
Indonesia.
Sejarah Pelabuhan Donggala, adalah Sejarah KEJAYAAN KOTA DONGGALA.